Rabu, 16 Maret 2011

Keluarga Pengamen Jalanan

Di perempatan Jalan Jakarta dan Kiaracondong  Bandung setiap pengendara pasti selalu melihat pemandangan yang mengenaskan. Sebuah keluarga besar yang terdiri dari ibu, anak, dan cucu berpanas-panasan atau berhujan-hujanan mencari uang dengan mengamen, mengemis, atau melap mobil yang berhenti dengan kemoceng (di Padang kami menamainya bulu ayam). Si ibu menggendong cucunya kesana kemari sambil mengemis uang dari pengendara yang berhenti ketika lampu merah, sementara anak gadisnya yang berjumlah tiga orang mengamen dengan alat musik seadanya: gitar butut, kincring-kincring, dan botol aqua.  Diperempatan itu tidak hanya mereka yang mengamen, tetapi juga beberapa lelaki remaja khas anak jalanan. Mereka berbaur dalam kehidupan jalanan yang bebas dan keras.
Oh ya, setahu saya cucu yang digendong ibu itu adalah anak dari anak gadisnya yang paling besar. Dua tahun yang lalu saya melihat anak gadis ini terlihat hamil, tidak jelas siapa ayah si jabang bayi. Kehidupan para orang jalanan ini memang terlihat bebas. Mereka tidur di emper-emper toko beralaskan koran dan berselimutkan kain lusuh. Karena banyak pengamen jalanan hidup seperti ini, maka tidak heran jika seks bebas pun bukan barang yang aneh di kalangan mereka. Mungkin saja si anak gadis ibu tadi hamil karena pergaulan bebas tersebut.
Anak-anak perempuan yang mengamen di jalan cenderung mengalami pelecehan seksual dari remaja lelaki sesama pengamen. Hidup mereka yang bebas memungkinkan mereka tidak terikat norma dan mau melakukan apa saja. Sejak kecil anak-anak perempuan dan anak laki-laki sudah dididik orangtuanya mengamen dan mengemis di jalan. Tanpa malu-malu keluarga pengamen ini berbaring dan duduk-duduk di pinggir jalan seakan tidak peduli dengan lalu lalang orang yang melihat kehidupan mereka. Anak-anak mereka yang masih bocah berlari-lari ke sana kemari tanpa takut ditabrak mobil, sebagian yang lain asik memakan remah-remah nasi bungkus. Tampang mereka dekil, kulit hitam terbakar matahari, rambut menjadi gimbal. Di perempatan Jalan Dago dan jalan Riau kita akan menemukan pemandangan keluarga pengamen dan pengemis semacam ini.
Tidak ada solusi yang ampuh untuk mengatasi masalah sosial ini. Mereka hadir di jalanan karena kita memberi peluang kepada mereka untuk meneruskan “profesinya”. Dengan tetap memberi mereka recehan uang, mereka akan terus bergerilya di jalanan karena merasa sangat mudah mencari uang tanpa perlu kerja keras. Seharusnya tugas negaralah untuk mengentaskan mereka dari kepapaan hidup, karena di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “anak yatim dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi tampaknya Pemerintah Kota (wakil negara) membiarkan kaum jalanan ini tetap beraksi. Razia yang dilakukan terhadap mereka tidak efektif sebab setelah dilepaskan mereka akan kembali lagi ke jalan.
Kita yang sering terenyuh dengan pengemis dan pengamen jalanan sering dibuat serba salah. Jika tidak diberi uang, ada perasaan seakan diri kita kikir, tetapi jika diberi uang mereka semakin ketagihan dan akan terus berada di jalanan. Seorang pembaca di koran pernah mengusulkan bahwa kepada anak-anak yang mengamen kita jangan memberi mereka uang, tetapi berilah biskuit atau penganan agar mereka tidak kekurangan gizi. Alasannya adalah pengamen anak-anak ini kemungkinan besar menggunakan uang hasil mengamen untuk membeli kebutuhan yang bersifat merusak tubuh mereka seperti rokok, minuman atau makanan berwarna, bahkan mungkin saja untuk ngelem atau untuk narkoba. Jadi, siapkan di mobil anda permen, biskuit, atau roti ketimbang uang receh. Itu jika anda tetap berniat memberi.

Sumber : http://rinaldimunir.wordpress.com/2007/03/02/keluarga-pengamen-jalanan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar